Jauh sebelum ”Merah Putih” berkibar, Banda sudah dikenal dunia.
Karena palanya, bangsa-bangsa penjelajah Asia dan Eropa berebutan
menemukan dan menduduki kepulauan di Maluku ini.
Kini pamor pulau-pulau kecil di tengah Laut Banda yang luas
daratannya hanya 180,59 kilometer persegi itu seakan tenggelam ditelan
bumi. Sungguh ironis, di tengah pesatnya teknologi transportasi, Banda
justru kian sulit dijangkau.
Hanya karena—”dalam rangka”—Sail Banda, sebulan terakhir, frekuensi
persinggahan kapal PT Pelni diperbanyak. Tiga kapal Pelni menyinggahi
Pelabuhan Banda Naira dalam waktu dua pekan, yakni Ciremai, Bukit
Siguntang, dan Tatamailau. Sebelumnya, kapal Pelni hanya singgah sekali
sepekan.
Transportasi udara lebih memilukan lagi. Baru sebulan terakhir
penerbangan dua kali seminggu ke Banda dari Ambon. Sebelumnya, Banda
bisa tidak dijangkau penerbangan dalam waktu tiga bulan.
Karena kondisi ini, tidak sedikit warga Banda memilih merantau ke
daerah lain untuk mencari nafkah. ”Banda seperti tidak dilihat lagi
oleh pemerintah. Mungkin pemerintah sudah lupa sejarah Banda dahulu.
Nyaris tidak ada upaya membuka lapangan kerja bagi anak-anak Banda,”
ujar La Ona Ladisa, pemuda setempat.
Begitu pula di sektor pendidikan. Meski sudah ada perguruan tinggi
di Banda, buku-buku penunjang kuliah anak-anak Banda sering sulit
diperoleh. ”Untuk membelinya, kami harus ke Ambon, naik kapal 10-12
jam. Kalau pesan untuk dikirim, biayanya mahal. Ongkos kirim satu buku
mencapai Rp 50.000,” kata Handrima Lakapota (19), mahasiswi Sekolah
Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir.
Bagaimana dengan pala yang dulu jadi magnet bangsa Eropa untuk
menjelajah dan menjajah Nusantara? Pohon-pohon pala telah banyak yang
mati.
”Dari 500.000 batang yang pernah ditanam Belanda, kini tinggal
tersisa 20.000 batang. Itu pun kebanyakan sudah tua, sekitar 80 tahun,
dan sudah seharusnya diganti pohon baru,” kata Des Alwi, sejarawan dan
tokoh masyarakat Banda, sekaligus pemilik PT Banda Permai, perusahaan
perkebunan yang mengolah pala di lahan milik Pemerintah Provinsi
Maluku.
Warga menelantarkan pohon- pohon pala, bahkan menggantinya dengan
tanaman lain, seperti cengkeh, umbi-umbian, dan jagung karena harga
jual pala turun hingga Rp 3.000 per kg.
”Puluhan tahun lamanya pala tidak lagi menjadi andalan masyarakat.
Sebagai gantinya, masyarakat banyak yang mengandalkan hasil laut untuk
hidup,” kata Suparman (48), warga Kampung Adat Lontor di Pulau Banda
Besar.
Geliat warga tetap memperoleh penghasilan dari pala dengan mengolah
kulit pala menjadi sirup pala, manisan, dan selai pun tak berjalan
mulus.
”Sejak 20 tahun yang lalu warga telah membuat hasil-hasil olahan
pala. Tapi, hasil olahan kami tidak kunjung memperoleh izin Departemen
Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan meski beberapa kali
kami disurvei pejabat pemerintah,” kata Jenna Bahalwan (48), warga
Kampung Adat Namasawar di Pulau Naira.
Akibatnya, hasil kreasi pala hanya terjual di Banda. Pembelinya cuma
wisatawan yang sedang ke Banda dan penumpang kapal laut saat kapal
laut singgah di Banda.
Setelah pamor pala Banda menyusut abad ke-19 ketika pala Banda
tersaingi pala Sulawesi, Jawa, Sumatera, Bengkulu, dan juga dari koloni
Perancis dan Inggris, sepuluh tahun terakhir ini pamornya perlahan
bangkit.
Penanggung Jawab Operasi Koperasi Pala Banda Rajab Saleh mengatakan,
harga pala dan fuli atau bunga pala belakangan ini terus meningkat.
Sekarang harga pala Rp 80.000 per kg, sedangkan fuli Rp 120.000 per kg.
Dari setiap kilogram biji pala yang dihasilkan satu pohon saat panen
bisa diperoleh 2 ons fuli.
Pohon-pohon pala yang masih ada mulai dirawat warga. Sejumlah pohon
baru mulai ditanam sehingga sekitar satu tahun lalu warga mulai meraup
keuntungan.
Setiap kali panen, Juli-Agustus dan November-Desember, hampir semua
warga, termasuk perempuan, pergi ke ladang di belantara hutan, menjaga
pohon-pohon pala dan mengumpulkan pala yang sudah siap panen. ”Kami
sampai harus tinggal di hutan karena, kalau tidak begitu, pala bisa
dicuri orang lain,” kata Suparman, seraya menambahkan, pala olahan
umumnya dikirim ke Ambon dan Surabaya, Jawa Timur.
Kehidupan warga
Sektor perikanan Banda pun megap-megap. Cara menangkap ikan
masyarakat masih tradisional. ”Kami masih mengandalkan ikan
lumba-lumba. Kalau ada ikan lumba-lumba, berarti kami pancing ikan.
Kalau tidak, kami tidak menangkap ikan,” ujar Awad Wongsopati (50),
warga Kampung Adat Ratu Naira.
Jadi, meski pemerintah memberikan bantuan mesin motor, mereka kerap
tak memperoleh hasil tangkap yang maksimal karena cara menangkap ikan
yang masih sederhana.
”Kalau beruntung, kami memperoleh penghasilan bersih maksimal Rp
200.000. Namun, seringnya justru tidak dapat karena tak ada
lumba-lumba. Apalagi kalau ombak besar, kami tidak bisa melaut,” ujar
Awad.
Masalah lain adalah tidak adanya pabrik es, ruang penyimpanan ikan, dan stasiun pengisian bahan bakar.
Penjualan ikan masyarakat juga masih bergantung pada kapal-kapal
timbang ikan yang singgah di sana. Saat musim panen, kapal timbang ikan
sering tidak bisa membeli semua ikan nelayan sehingga sebagian
terpaksa dibuang.
Pariwisata merupakan sektor lain di Banda yang terus meredup.
Pasca-kerusuhan Maluku tahun 1999, kejayaan pariwisata Banda meredup.
”Tamu-tamu di hotel menurun drastis. Setiap tahun saya biasa menerima
turis sampai 300 orang. Setelah 1999, maksimal yang datang hanya 50
orang per tahun,” kata Bahri, pengelola penginapan Delfika di Pulau
Naira, Banda.
Buruknya kondisi transportasi ke Banda tidak hanya menyulitkan
wisatawan datang, tetapi juga bagi warga Banda sendiri yang mau pulang
kampung. ”Orang harus berdesak-desakan dengan barang,” kata Prof Dr
Burhan Bungin, tokoh masyarakat Banda.
Masyarakat Banda
Tidak salah jika kondisi yang demikian membuat masyarakat Banda
menuntut Banda dijadikan kawasan ekonomi khusus. Tuntutan ini mencuat
saat Kongres Masyarakat Banda se-Indonesia akhir Juli lalu.
”Potensi perikanan, pala, dan wisata di Banda akan lebih bisa
dioptimalkan jika ada badan otorita khusus untuk Banda. Selama ini
seluruh potensi itu tidak berkembang karena Banda hanya salah satu
kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah,” kata Burhan Bungin.
Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad yang datang ke
Banda untuk upacara penyambutan kapal-kapal layar peserta Sail Banda
mengatakan, usulan itu untuk sementara belum bisa diterima. Alasannya,
belum ada komoditas unggulan Banda yang membuat Banda layak jadi
kawasan ekonomi khusus.
Sebagai pelipur lara, Menteri dan juga Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu berjanji untuk memperbaiki kehidupan nelayan.
Semoga janji itu dipenuhi segera sehingga masyarakat tidak lagi
merasa terpinggirkan, sebagaimana dikemukakan Kepala Kampung Adat Ratu
Naira Awad Senen
0 komentar:
Posting Komentar