Kapan kota ini merdeka dari sampah? Jelas sebuah hal mustahil jika
mengingat masifnya warga membuang sampah di sembarang tempat. Yang bisa
dilakukan hanya sebisa mungkin menahan laju sampah dan menguranginya.
Beranjak dari hal itu, Komunitas Resik-resik Jogja (KRRJ) menggelar
aksi di Alun-alun Selatan, Sabtu (21/8) sore, menjelang berbuka. Sesuai
nama komunitas, 15 orang yang tergabung dalam komunitas tersebut
membersihkan ruang publik dari sampah.
Menyisir tepi hingga tengah alun-alun, satu demi satu sampah masuk
ke keranjang bambu dan karung bagor. Aksi mereka mengundang perhatian
karena adegan mencari, mengambil, dan memasukkan sampah dilakukan
dengan berpantomim. Cat putih ada di wajah.
Beberapa dari mereka sesekali berteriak, mirip latihan teater.
“Jangan membuang sampah, tolong jangan membuang sampah,” begitu seru
salah satu anggota komunitas tersebut di tengah lapangan, ke arah
kerumunan orang yang sedang duduk-duduk.
Mereka yang tertarik dengan aksi memungut sampah dengan tangan
kosong itu tertular ikut-ikutan mengambili sampah. Menjelang berbuka,
aktivitas selama 1,5 jam itu dihentikan dan ditutup buka bersama
menyantap arem-arem, kurma, dan segelas air mineral kemasan.
20 kilogram
Setidaknya, dalam aksi singkat itu terkumpul 20 kilogram sampah,
terbanyak berupa sampah plastik bekas makanan kecil dan bungkus
makanan. Menyusul kemudian sampah puntung rokok, gelas plastik bekas
kemasan air mineral, dan sampah kertas seperti sobekan koran.
Berat sampah 20 kg tergolong tak biasa, apalagi Alun-alun Selatan
rutin dibersihkan petugas, termasuk didatangi pemulung setiap hari.
Betapa cepat dan banyaknya sampah itu tercecer.
Suka tidak suka, Alun-alun Selatan masih dianggap sebagai tempat
pembuangan sampah besar oleh pengunjung. Kondisi serupa juga terjadi di
semua tempat publik di kota ini, seperti Alun-alun Utara, Malioboro,
hingga semua area dan tempat orang berkumpul.
Kegelisahan itu dirasakan sekumpulan mahasiswa dan pemerhati
kebersihan yang kemudian berinisiatif mendirikan KRRJ setahun lalu.
Komunitas itu aktif bergerak dua bulan terakhir. Sebelum “ngresiki”
Alun-alun Selatan, komunitas itu sudah menjamah Selokan Mataram dan
area di bawah Jembatan Layang di Lempuyangan.
Ketua KRRJ Wardi Bajang mengatakan, salah satu agenda komunitas itu
memang rutin menyambangi ruang publik dan resik-resik di sana.
Alun-alun Selatan dipilih karena tempat itu setahun terakhir makin
ramai dijejali pedagang aneka jenis dan pengunjung.
“Kami berharap gerakan ini ke depan bisa memantik orang-orang atau
siapa saja sehingga semua bisa bersama-sama menjaga Yogyakarta agar
bersih dan nyaman. Yah, walau sepekan atau dua pekan sekali
membersihkan tempat publik, sudah lumayan,” ujar Wardi.
Azis, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga angkatan
2006 berpendapat, ruang publik mestinya bersih dari sampah. Ia berharap
gerakan itu segera menular ke kampus-kampus.
Komunitas itu bercita-cita agar Yogyakarta merdeka dari sampah.
Tentu saja, bukan hal mudah menumbuhkan itu menjadi kampanye massal.
Namun, bukan hal yang mustahil. Yang dibutuhkan semangat kolektif yang
kemudian menular ke kanan-kiri.
Malu, kan, kalau ruang publik Yogyakarta jorok karena sampah
berserakan di mana-mana? Apalagi, ini kota pendidikan dan kota tujuan
wisata
0 komentar:
Posting Komentar