Mantan Menteri Penerangan Malaysia, Zainudin Maidin, membuat tulisan
yang memberikan gambaran negatif soal Presiden Indonesia ketiga, B.J.
Habibie. Tajuk rencana berjudul “Persamaan BJ Habibie dengan Anwar
Ibrahim” itu dimuat koran Utusan Malaysia edisi Senin, 10 Desember 2012.
Berikut tulisan lengkap Zainudin Maidin.
***
Persamaan BJ Habibie dengan Anwar Ibrahim
Zainudin Maidin
Persamaan BJ Habibie dengan Anwar Ibrahim
Zainudin Maidin
PRESIDEN Indonesia ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie yang mencatatkan
sejarah sebagai Presiden Indonesia paling tersingkat, tersingkir kerana
mengkhianati negaranya, telah menjadi tetamu kehormat kepada Ketua Umum
Parti Keadilan Rakyat Anwar Ibrahim baru-baru ini.
Beliau diberikan penghormatan untuk memberi ceramah di Universiti Selangor (Unisel).
Beliau disingkirkan setelah menjadi Presiden Indonesia hanya selama 1
tahun 5 bulan kerana bersetuju dengan desakan Barat supaya mengadakan
pungutan suara ke atas penduduk Timor Timur dalam Wilayah Indonesia
menyebabkan Timor Timur terkeluar daripada Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada 30 Ogos 1999.
Beliau mengakhiri jawatan dalam kehinaan setelah menjadi presiden sejak 20 Oktober 1999.
Beliau juga telah menyebabkan berlakunya perpecahan rakyat Indonesia
kepada 48 parti politik yang mengakibatkan keadaan politik negara itu
dalam porak-peranda hingga kini.
Adalah suatu hal yang agak menarik dan lucu bila Anwar Ibrahim dalam
ucapan aluannya menimbulkan keupayaannya ketika menjadi Timbalan Perdana
Menteri dan ketika Habibie menjadi Presiden Indonesia dapat
menyelesaikan masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Ia memberikan gambaran bahawa sekiranya kuasa dikembalikan semula
kepada mereka maka pastinya akan dapat menyelesaikan semua masalah
antara kedua-dua negara.
Barangkali ramai yang hadir di majlis pidato itu yang tidak tahu
tentang sejarah Habibie telah terpesona dengan syarahan dan ceritanya,
tetapi saya terpegun merenung persamaan watak, tugas dan nasib yang sama
kedua-dua bekas pemimpin besar itu.
Habibie menjadi gunting dalam lipatan terhadap Presiden Indonesia
Suharto walaupun Suharto yang membawanya kembali dari Jerman untuk
kemudiannya menjadi wakil Presiden dan demikian juga yang dilakukan oleh
Anwar Ibrahim terhadap Tun Dr. Mahahtir Mohamad ketika beliau menjadi
Timbalan Perdana Menteri setelah ‘dipungut’ daripada ABIM.
Bagaimana pun Habibie sempat menjadi Presiden dan mengkhianati bangsa
dan negaranya setelah menjadi Presiden, tetapi Anwar mahu menyerahkan
negara ini kepada IMF dan New Imperialis sebelum sempat menjadi Perdana
Menteri. Allah telah menyelamatkan rakyat Malaysia.
Apakah tujuan Anwar menjemput ‘pengkhinat’ bangsa Indonesia ini ke
Malaysia. Dia tidak mempedulikan perasaan rakyat Indonesia kerana
mungkin mereka telah sekata hendak menunjukkan kebesaran dan keagungan
masa silam mereka untuk melindungi dosa besar mereka dan mungkin
masing-masing berangan-angan bahawa zaman besar itu akan datang semula.
Kepada saya yang menjadi kenangan besar tentang Habibie ialah dia
telah membuat tetamu termasuk Perdana Menteri Tun Dr. Mahathir terpaksa
menunggu kedatangannya dari Jakarta lebih dari dua jam di IKIM Kuala
Lumpur untuk mendengar ucapannya (ketika itu dia belum jadi presiden).
Barangkali Dr. Ismail Ibrahim, kekas Ketua Pengarah IKIM masih ingat
peristiwa pahit ini.
Beliau sengaja melakukan ini untuk menunjukkan “aku lebih besar” dan
ucapannya yang penuh dengan keegoan begitu panjang sehingga ke
peringkat memualkan hadirin, tetapi Dr. Mahathir tetap menunggu dengan
setia.
Inilah jenis manusia yang dibawa oleh Anwar Ibrahim ke negara ini
dari semasa ke semasa untuk membantunya dalam politik dan jemputannya
kali ini pun untuk tujuan menunjukkan “kami berdua masih besar.”
Saya tidak tahu bagaimana terseksanya para hadirin di Unisel
mendengar ucapan manusia yang egonya amat tinggi, apatahlah lagi
mendapat peluang berucap kepada orang yang dianggap bodoh sesudah sekian
lama tidak mendapat kesempatan berucap kepada rakyat Indonesia yang
tidak lagi mahu mendengarnya dan tidak lagi menghormatinya.
Pada hakikatnya mereka berdua tidak lebih daripada “The Dog Of Imperialism.”
Mantan Menteri Penerangan Malaysia, Zainudin Maidin, memberikan
gambaran negatif soal Presiden Indonesia ketiga, B.J. Habibie. Dalam
tajuk rencana koran Utusan Malaysia edisi Senin, 10 Desember 2012,
Zainuddin menggambarkan Habibie sebagai sosok egois, memualkan, serta
pengkhianat bangsa.
Memulai tulisannya, Menteri Penerangan di era Abdullah Badawi ini
mengulas kedatangan B.J. Habibie ke Malaysia beberapa hari lalu.
“Presiden Indonesia ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie, yang mencatatkan
sejarah sebagai Presiden Indonesia paling tersingkat, tersingkir kerana
mengkhianati negaranya, telah menjadi tamu kehormatan Ketua Umum Partai
Keadilan Rakyat (PKR) Anwar Ibrahim baru-baru ini,” tulis Zainudin di
halaman 6 Utusan Malaysia.
Tulisan selanjutnya, Zainudin lebih banyak menceritakan beberapa sisi
negatif Habibie selama menjadi Presiden Indonesia, mulai peran Habibie
yang menyebabkan Timor-Timur terlepas dari NKRI hingga perpecahan
politik yang menyebabkan tumbuhnya 48 partai politik di Indonesia.
“Beliau mengakhiri jabatannya dalam kehinaan setelah menjadi presiden
sejak 20 Oktober 1999,” begitu Zainudin Maidin memberi penilaian.
Hal yang paling memualkan dari Habibie, menurut Zainudin, adalah
sifat egoisnya. Ia menceritakan bagaimana dirinya, pejabat tinggi
Malaysia, dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad kala itu harus menunggu
sekitar dua jam karena Habibie terlambat datang untuk memberikan ceramah
di salah satu perguruan tinggi di Malaysia. Dan setelah tiba, ternyata
Habibie hanya menyampaikan pidato yang bertele-tele. “Ucapannya yang
penuh dengan keegoan begitu panjang sehingga ke peringkat memualkan
hadirin,” tulis Zainudin.
Atas undangan Universiti Selangor (Unisel), B.J. Habibie memberikan
ceramah di hadapan para mahasiswa cendekiawan dan tokoh politik pada
Kamis lalu, 6 Desember 2012. Dalam ceramah berjudul “Habibie dan
Transisi Indonesia ke Demokrasi”, mantan Ketua ICMI ini menceritakan
pengalaman Indonesia dalam menjaga keragaman. Menurut Habibie,
pluralisme kepercayaan, suku, adat, dan keragaman lainnya merupakan
kekuatan dan bukan menjadi ancaman bangsa.
Habibie mencontohkan, walaupun penduduk Indonesia sebagian besar suku
Jawa, bahasa nasional yang digunakan berasal dari bahasa Melayu.
Beberapa pihak menyatakan bahwa bahasa Melayu menjadi lingua franca
karena posisinya sebagai bahasa perdagangan. Namun, menurut Habibie,
bahasa Melayu juga digunakan karena kebudayaan Melayu telah ada sejak
lama.
Bisa jadi kegeraman Zainudin dipicu kekhawatiran kalau Habibie–yang
di Indonesia dikenang sebagai salah satu tokoh penting dalam transisi
demokrasi–membawa virus reformasi ke Malaysia.
Direktur Eksekutif Habibie Center, Rahimah Abdulrahim, mengatakan
bahwa lembaganya tak mempersoalkan tulisan bekas Menteri Penerangan
Malaysia, Zainuddin Maidin, dalam surat kabar terbitan negara tersebut,
Utusan Malaysia. Dalam tulisannya, Zainuddin menyatakan bekas presiden
B.J. Habibie sebagai pengkhianat bangsa.
“Zainuddin sudah mengatakan di tulisannya, kalau itu pendapat
pribadinya. Jadi ya tidak usah direspons terlalu serius,” kata Ima saat
dihubungi, Senin, 10 Desember 2012. (Baca: Di Malaysia, Habibie Dianggap
Pengkhianat Bangsa)
Habibie Center, ujarnya, tidak akan memprotes tulisan Zainuddin
karena setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya. Pun meski materi
tulisan Zainuddin cenderung mendiskreditkan Habibie, Ima yakin bekas
Menteri Riset dan Teknologi itu tak akan gusar.
“Dia (Zainuddin) bebas berpendapat seperti itu. Bapak (Habibie) pada
prinsipnya mengedepankan demokrasi, jadi sila saja jika ada yang
berpendapat negatif soal dia. Lagipula kita mesti lihat rekam jejak
Zainuddin,” ujarnya.
Dalam tajuk rencana Utusan Malaysia edisi Senin, 10 Desember 2012,
Zainuddin menggambarkan Habibie sebagai sosok egois, memualkan, serta
pengkhianat bangsa. Memulai tulisannya, Menteri Penerangan di era
Abdullah Badawi ini mengulas kedatangan B.J. Habibie ke Malaysia
beberapa hari lalu.
“Presiden Indonesia ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie, yang
mencatatkan sejarah sebagai Presiden Indonesia paling tersingkat,
tersingkir kerana mengkhianati negaranya, telah menjadi tamu kehormatan
Ketua Umum Partai Keadilan Rakyat (PKR) Anwar Ibrahim baru-baru ini,”
tulis Zainudin di halaman 6 Utusan Malaysia.
Tulisan selanjutnya, Zainudin lebih banyak menceritakan beberapa sisi
negatif Habibie selama menjadi Presiden Indonesia, mulai peran Habibie
yang menyebabkan Timor-Timur terlepas dari NKRI hingga perpecahan
politik yang menyebabkan tumbuhnya 48 partai politik di Indonesia.
Adapun hal yang paling memualkan dari Habibie, menurut Zainudin, adalah
sifat egoisnya.
Ia menceritakan bagaimana dirinya, pejabat tinggi Malaysia, dan
Perdana Menteri Mahathir Muhammad kala itu harus menunggu sekitar dua
jam karena Habibie terlambat datang untuk memberikan ceramah di salah
satu perguruan tinggi di Malaysia. Setelah tiba, ternyata Habibie hanya
menyampaikan pidato yang bertele-tele.
Atas undangan Universiti Selangor, Habibie memberikan ceramah di
hadapan para mahasiswa cendekiawan dan tokoh politik pada 6 Desember
2012. Dalam ceramah berjudul “Habibie dan Transisi Indonesia ke
Demokrasi”, mantan Ketua ICMI ini menceritakan pengalaman Indonesia
dalam menjaga keragaman. Menurut Habibie, pluralisme kepercayaan, suku,
adat, dan keragaman lainnya merupakan kekuatan, bukan menjadi ancaman
bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar