Muhammad Soeharto merupakan salah seorang pria Jawa yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia. Soeharto menjadi orang nomor satu di Indonesia selama kurang lebih 32 tahun lamanya.
Pak Harto lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu,
Bantul, Yogyakarta, pada 8 Juni 1921 silam. Pak Harto dilahirkan dari
sebuah keluarga Jawa yang sederhana. Ayahnya bernama Kertoredjo alias
Wagiyo alias Panjang alias Kertosudiro dan ibunya bernama Sukirah.
Sebagai seorang pria Jawa, Pak Harto menganut falsafah Jawa dalam
menjalani hidupnya. Pak Harto juga menjalankan sejumlah tradisi Jawa
yang dipercayainya.
Berikut empat tradisi Jawa yang dianut mantan penguasa Orde Baru itu.
1. Gemar bertapa
Soeharto adalah penganut setia tradisi leluhurnya. Karenanya tak heran jika Pak Harto menggunakan filosofi Jawa dalam kepemimpinannya.
Dalam buku ‘Dunia Spiritual Soeharto‘, Arwan Tuti Artha, diceritakan Pak Harto banyak mengunjungi tempat-tempat keramat untuk bertapa. Ritual itu dilakukan Pak Harto untuk mempertahankan posisinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia saat itu.
Tempat-tempat spiritual itu beberapa di antaranya adalah; Padepokan Lang Lang Buana Gunung Srandil di Cilacap, Kali Garang, Sampangan Semarang, makam Pangeran Purbaya di Desa Maguwaharjo, Berbah, Sleman dan lain-lain.
Masyarakat di Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala, Cilacap, mengaku sering melihat rombongan kepresidenan yang dipimpin Pak Harto mendatangi tempat pemujaan Jambe Pitu yang terdapat di desa tersebut. Penguasa Orde Baru ini selalu datang didampingi seorang guru spiritual kepercayaannya yang berasal dari Semarang yang bernama Romo Diyat.
Dalam buku ‘Dunia Spiritual Soeharto‘, Arwan Tuti Artha, diceritakan Pak Harto banyak mengunjungi tempat-tempat keramat untuk bertapa. Ritual itu dilakukan Pak Harto untuk mempertahankan posisinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia saat itu.
Tempat-tempat spiritual itu beberapa di antaranya adalah; Padepokan Lang Lang Buana Gunung Srandil di Cilacap, Kali Garang, Sampangan Semarang, makam Pangeran Purbaya di Desa Maguwaharjo, Berbah, Sleman dan lain-lain.
Masyarakat di Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala, Cilacap, mengaku sering melihat rombongan kepresidenan yang dipimpin Pak Harto mendatangi tempat pemujaan Jambe Pitu yang terdapat di desa tersebut. Penguasa Orde Baru ini selalu datang didampingi seorang guru spiritual kepercayaannya yang berasal dari Semarang yang bernama Romo Diyat.
2. Pecinta keris pusaka
Sebagai pria Jawa, Pak Harto sangat mencintai benda-benda pusaka. Dalam buku ‘Misteri Pusaka-pusaka Soeharto‘ karya Ki Juru Bangunjiwo, diceritakan Pak Harto sangat mencintai benda pusaka.
Keris menjadi pusaka yang paling berarti bagi Pak Harto. Makna pusaka keris sebagai piyandel dan diwujudkan dalam sifat kandel. Piyandel artinya bahwa keris merupakan sebuah keyakinan akan sebuah harapan, doa, dan cita-cita yang ditorehkan dan disimpan untuk diteruskan kepada anak cucunya.
Soeharto juga meyakini, keris melambangkan pentingnya keprihatinan dalam kehidupan ini. Sehingga anugerah yang turun bukan untuk diri sendiri, tetapi bagi keturunannya.
Keris menjadi pusaka yang paling berarti bagi Pak Harto. Makna pusaka keris sebagai piyandel dan diwujudkan dalam sifat kandel. Piyandel artinya bahwa keris merupakan sebuah keyakinan akan sebuah harapan, doa, dan cita-cita yang ditorehkan dan disimpan untuk diteruskan kepada anak cucunya.
Soeharto juga meyakini, keris melambangkan pentingnya keprihatinan dalam kehidupan ini. Sehingga anugerah yang turun bukan untuk diri sendiri, tetapi bagi keturunannya.
3. Tidur di tritisan luar rumah
Soeharto
dikenal sebagai seorang Presiden Indonesia yang mempercayai dunia
mistis. Sejak kecil, Pak Harto sudah mempelajari spiritual, salah
satunya dari ayah tirinya Atmopawiro.
Salah satu ilmu spiritual yang dijalankan Pak Harto adalah tidur di tritisan atau di bawah ujung atap di luar rumah. Pak Harto juga rajin menjalankan puasa Senin Kamis.
“Pada masa itu saya ditempa mengenal dan menyerap budi pekerti dan filsafah hidup yang berlaku di lingkungan saya. Mengenal agama dan tata cara hidup Jawa,” kata Soeharto dalam biografi ‘Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya’ yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH.
Sebagai pria Jawa, Pak Harto benar-benar menghayati soal penghormatan terhadap harmoni dan keselarasan hubungan antara manusia dan alam semesta.
Dalam buku biografi ‘Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya’ yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH, penguasa Orde Baru itu mengakui kedekatannya dengan ilmu kebatinan.
Namun, jenderal besar itu menampik jika ilmu kebatinan disamakan dengan klenik. Menurutnya, ilmu kebatinan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan yang Maha Esa.
“Sesuai dengan peninggalan nenek moyang kita. Ilmu kebatinan itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendekatkan batin kita kepada-Nya. Orang kadang-kadang salah kaprah, mengira ilmu kebatinan itu ilmu klenik,” kata Soeharto.
SUMBER
Salah satu ilmu spiritual yang dijalankan Pak Harto adalah tidur di tritisan atau di bawah ujung atap di luar rumah. Pak Harto juga rajin menjalankan puasa Senin Kamis.
“Pada masa itu saya ditempa mengenal dan menyerap budi pekerti dan filsafah hidup yang berlaku di lingkungan saya. Mengenal agama dan tata cara hidup Jawa,” kata Soeharto dalam biografi ‘Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya’ yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH.
Sebagai pria Jawa, Pak Harto benar-benar menghayati soal penghormatan terhadap harmoni dan keselarasan hubungan antara manusia dan alam semesta.
4. Dekat dengan ilmu kebatinan
Selain menyukai benda pusaka, Pak Harto sangat mempercayai dunia kebatinan. Pak Harto percaya hubungan manusia harus harmonis dan selaras dengan alam semesta.Dalam buku biografi ‘Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya’ yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH, penguasa Orde Baru itu mengakui kedekatannya dengan ilmu kebatinan.
Namun, jenderal besar itu menampik jika ilmu kebatinan disamakan dengan klenik. Menurutnya, ilmu kebatinan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan yang Maha Esa.
“Sesuai dengan peninggalan nenek moyang kita. Ilmu kebatinan itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendekatkan batin kita kepada-Nya. Orang kadang-kadang salah kaprah, mengira ilmu kebatinan itu ilmu klenik,” kata Soeharto.
SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar