Situs megalitik Gunung Padang menjadi buah bibir setelah sejumlah
peneliti dari berbagai disiplin ilmu berupaya menguak secara scientific
situs yang diperkirakan berusia 500 tahun sebelum masehi tersebut.
Baru-baru ini, arkeolog menemukan deretan makan tua yang ada di punden
berundak tersebut.
Adalah Ali Akbar, Arkeolog dari Universitas Indonesia (UI) yang
menemukan kelompok makam di dalam area penelitian situs yang ada di Desa
Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sekitar
50 KM dari Kota Cianjur, Jawa Barat.
“Makam itu ada di tenggara teras kelima (teras puncak) Gunung Padang,
agak menurun sedikit, ada beberapa makam di sana,” kata Ali saat
berbincang dengan detikcom, Kamis (3/1/2013).
Berdasarkan pengamatannya, makam tersebut ada di areal situs
megalitik sekitar tahun 1900-an. Dari beberapa makam yang ada, terdapat
satu makam yang sedikit memberikan gambaran mengenai keberadaan makam
dari sepasang nisan makam tersebut.
“Bila dilihat dari bentuk makamnya, itu adalah makam Islam. Satu
nisan bertuliskan huruf latin dan satunya lagi bertuliskan huruf Arab,”
terangnya.
Dari batu nisan itu tertulis Hadi Winata yang wafat pada tahun 1947
yang wafat di usia 68 tahun, artinya lahir pada tahun 1879 masehi. Di
nisan lainnya, masih di makam yang sama, tertulis huruf Arab dan
terdapat keterangan tahun hijriyah, yaitu 1356 H. Menurut Ali, dirinya
masih meneliti keterkaitan keterangan tahun Hijriyah yang tertera dengan
tahun masehi di nisan tersebut.
“Bila di nisan tulisan Arab tertulis Prabu,” terang Ali. Dia
menambahkan, kemungkinan jasad yang dimakamkan itu merupakan dari
golongan bangsawan bila sekilas diamati dari nama latin yang tercantum
di nisan dan juga tulisan ‘Prabu’ di nisan berhuruf Arab.
Namun sayang, para peneliti belum bisa menaksir usia makam lainnya
yang ada di areal Gunung Padang. “Ada yang lebih tua lagi, tapi tidak
ada tulisan di nisannya, jadi belum bisa diprediksi berapa usia makam
itu,” ujarnya.
Terkait penemuan tersebut, Ali sudah melaporkannya ke tim penelitian
untuk kemudan ditindaklanjuti. Penelitian arkeologi situs Megalitik
Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur,
mulai menempuh babak akhir. Seperti apa rupa dari punden berundak yang
menjadi kontroversi ini akan segera terkuak.
Apa yang akan dilakukan Ke depan? Semua tim terus bekerja dengan
titik konsentrasi di lokasi yang berada di luar situs. Tim arkeologi
menjadi terdepan membuka ‘pintu peradaban’ leluhur yang sangat luar
biasa ini. Adapun bentuk dan isi di dalamnya akan secara otomatis
terkuak,” kata Erick Rizky, Asisten Stafsus Presiden bidang Bantuan
Sosial dan Bencana, dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom,
Rabu (19/12/2012)
Penelitian situs yang ditaksir berusia 500 tahun lebih ini terdiri
dari berbagai unsur akademis. Menurut Erick, Tim Geologi sudha 99 persen
memiliki data lengkap geolistrik dan alat bantu geofisika. Ditambah
pemetaan satelit, kountur dan DEM.
“Dari hasil itu ditambah pembuktian di beberapa titik bor sampling
serta analisa petrografi secara scientific bisa disimpulkan memang ada
man made structure di bawah permukaan situs gunung padang,” papar Erick
menambahkan hasil riset dipaparkan Selasa (18/12) malam dari pukul 19.00
hingga 00.00 WIB.
Erick menambahkan, dari penelitian para akademisi itu juga ditengarai
memiliki chamber dan bentuk struktur lain dugaan goa dan lorong, serta
kecenderungan adanya anomali magnetik di berbagai lintasan alat
geofisika.
“Temuan ini makin diperkuat dengan temuan tim arkeologi yang berhasil
menemukan artefak-artefak di barat dan timur bangunan Gunung Padang
terutama di luar situs. Bahkan temuan awal batu melengkung di timur
dipertunjukan yang kuat diduga sebagai ‘pintu’. Ini temuan yang luar
biasa,” jelasnya.
Menurut Erick, dari paparan penelitian luasan situs diperkirakan
memiliki luasan yang lebih besar dari data yang dimiliki saat ini. “Tim
sudah hampir mirip dengan temuan di sumba Nusa Tenggara. Sebelumnya Tim
arsitektur menemukan kemiripan yang sama dengan piramida Machupichu
Mexico,” jelasnya.
Bapak arkeologi Indonesia yang juga Guru Besar UI Profesor
Mundardjito tak habis pikir akan kabar yang ditiupkan soal piramida
Gunung Padang di Cianjur. Menurutnya, isu itu malah merusak situs Gunung
Padang. Ribuan orang datang berbondong dan berbuat tanpa kontrol di
situs purbakala itu.
“Akibat isu piramida, semakin banyak pengunjung yang datang, semakin
rusak. Manusia pakai sepatu menginjak-injak bebatuan, menggores dengan
kunci mengukir nama. Ini akumulasi yang harus ditangani dengan serius,”
kata Mundardjito saat berbincang dengan detikcom, Rabu (19/12/2012).
Mundardjito sedih, situs yang diperkirakan berusia 2.000 tahun itu
malah kini tenar dengan isu piramida. Bukan pada sejarah keberadaan
situs megalitik peninggalan nenek moyang itu. Mundardjito yang terlibat
dalam restorasi Borobudur dan Prambanan ini sendiri tak yakni kalau
Gunung Padang itu sebuah piramida.
“Kalau kita lihat, Gunung Padang itu unik, megah, dan monumental.
Lokasi yang bagus, sebuah bukit yang dikelilingi bukit yang lain dan
juga sungai. Rasanya ini memang menarik masyarakat. Kita juga bisa
melihat kemampuan nenek moyang kita merancang dan menyiapkan batuan di
atas bukit, sebelum kita dipengaruhi kebudayaan India,” terang
Mundardjito yang kini berusia 76 tahun ini.
Arkeolog senior Indonesia yang pernah ikut eskavasi di Yunani ini
menjelaskan, yang utama dalam sebuah situs adalah perlindungan. Kondisi
Gunung Padang amat memprihatinkan. Hanya kabarnya saja yang disebarkan
ada piramida tapi tak ada konservasi akan situs itu.
“Sekarang susunan batu di sana, banyak yang diatur manusia.
Susunannya palsu, diatur-atur. Kondisi situs Gunung Padang juga belum
ditangani kompehensif, batu-batu berserakan, miring, roboh. Erupsi tanah
saat hujan juga terus terjadi. Kita tidak ingin ini terus terjadi,”
terangnya.
Mundardjito menuturkan, keaslian bentuk harus dijaga. Apalagi situs
itu merupakan bagian cagar budaya. Tentu perlindungan maksimal harus
diupayakan. Janganlah hanya mencari sesuatu yang di luar perkiraan
seperti piramida dengan merusak situs itu.
Dia juga mengusulkan membagi Gunung Padang dalam tiga zona. Zona inti
yang harus diproteksi, benar-benar daerah ‘haram’ dari bangunan. Zona
dua, menjadi penjaga zona inti, dan kemudian zoan tiga atau zona
pengembangan yang bisa dipakai penduduk setempat untuk memberikan jasa
kepada wisatawan.
“Heritage for all. Perlindungan hukum dibuat dengan SK Cagar Budaya
oleh bupati, dan harus ada zona di kawasan itu. Cagar budaya itu tak
ternilai. Selamatkan Gunung Padang,” tegasnya.
Selama ini catatan sejarah menulis penemu Situs Megalitik Gunung
Padang Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat. Sekitar 50 KM dari Kota Cianjur, Jawa Barat, adalah NJ Krom yang
merupakan warga negara Belanda. Namun, ditemukannya deretan makam di
areal yang kini menjadi objek penelitian itu, diharapkan dapat membuka
tabir baru jika masyarakat sekitarlah yang pertama kali menemukan situs
tersebut.
“Dengan adanya makam di situ (areal Gunung Padang), artinya ada
masyarakat yang tinggal dan menetap di situ, kemudian ada jeda sampai MJ
Krim menemukan situs tersebut dan melaporkannya ke pemerintah Belanda,”
ujar Arkeolog UI, Ali Akbar, saat berbincang dengan detikcom, Kamis
(3/1/2013).
Ali memaklumi, bila Belanda mencatat temuan Krom tahun 1914 itu dalam
catatan pemerintahannya. Pasalnya, pemerintahan saat itu dipegang oleh
Gubernur Hindia-Belanda, dimana Krom memiliki akses langsung ke
pemerintah untuk memasukannya ke dalam temuan Belanda.
“Maksudnya ke depan, kita menghargai masyarakat setempat yang mereka
sudah lebih dulu tahu dan menjaganya namun tidak masuk dalam laporan
temuan,” kata Ali.
Berdasarkan temuan tim penelitian di Gunung Padang, terdapat beberapa
makam yang terletak di teras kelima situs megalitik tersebut. Ali
menyebut, makam yang ditemukan tersebut bergaya makam Islam yang
masing-masing makamnya memiliki nisan. Namun, hanya satu makam yang
tulisan di nisannya masih terbaca.
Di nisan satu tertera tulisan latin yang menerangkan nama jasad yang
dimakamkan bernama Hadi Winata yang wafat pada tahun 1947. Almarhum
tertulis juga wafat pada usia 68 tahun, artinya almarhum lahir pada
tahun 1879. Di nisan lainnya makam yang sama, tertera pula tulisan Arab,
di nisan tersebut terbaca ‘prabu’ serta terdapat tahun hijriyah, 1356
H.
0 komentar:
Posting Komentar