Selasa, 18 Desember 2012

Tragedi Rawa Gede, Wisata Sejarah Yang Tak Terlupakan
Kerawang, WisatanewsCom – ‘Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi; Tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata lagi; Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami; Terbayang kami maju dan berdegap hati?; Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi; Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak; Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu; Kenang, kenanglah kami’.
 
Itulah penggalan dari puisi Antara Kerawang-Bekasi, karya Khairil Anwar yang menceritakan rakyat Kerawang dan Bekasi yang berjuang membela tanah air dengan menghadang gerak laju tentara belanda hingga ajal menjemput mereka yang termasuk didalamnya tragedi Rawagede waktu itu.
 
Khusus mengenai tragedi Rawagede, tidak semua masyarakat Indonesia mengetahui tragedi kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan oleh Tentara Belanda pada masa pendudukan mereka di Indonesia. Karena sejarah tragedi ini tidak pernah menjadi sejarah nasional, baik dalam dunia pendidikan maupun dokumenter perjalanan sejarah bangsa.
 
Sejarah Tragedi Rawagede yang memilukan ini berlangsung pada tahun 1947, dimana Tentara Kerajaan Belanda melakukan pembantaian terhadap lebih dari 431 laki-laki penduduk Rawagede.
 
Desa Rawagede sekarang memang sudah tidak ada lagi dan berganti dengan nama Desa Balonsari. Meski Desa Rawagede sudah berganti nama menjadi Desa Balonsari, namun memori tragedi menyisakan trauma memori tersendiri bagi warga desanya, khususnya pada beberapa saksi mata yang terlibat langsung atas tragedi tersebut.
 
Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat setempat, dan sesuai dengan ingatan para pelaku sejarah yang masih hidup, tragedi Rawagede ini berawal dari gigihnya masyarakat Rawagede dalam menyembunyikan informasi keberadaan pejuang kemerdekaan pada waktu itu yang membuat Tentara Belanda menjadi marah sehingga terjadilah tragedi pembantaian tersebut.
 
Sebenarnya Tragedi ini sempat mencuat dikala dari buku berjudul 'Riwayat Singkat Makam Pahlawan Rawagede' yang diterbitkan pada 1991. Buku ini ditulis oleh Sukarman Anak dari salah satu korban pembantian yang bernama Sukardi, seorang pejuang Indonesia yang lolos dari pembantaian Rawagede
 
Sayangnya buku ini kurang mendapatkan apresiasi serius dikalangan masyarakat maupun pemerintah Indonesia, dan hanya menarik perhatian para veteran termasuk Pangdam Siliwangi saat itu, Mayjen TNI Tayo Tarmadi.
 
Mayjen TNI Tayo Tarmadi kemudian memprakarsai pendirian Yayasan Rawagede dan mengumpulkan kuburan para korban dalam satu lokasi berikut membangun monumen.
 
Ironinya, Di Belanda buku itu menyedot perhatian akademisi, politisi dan wartawan hingga kemudian dicetak ulang. Masyarakat Belanda begitu terhenyak membaca kisah pembantaian yang ditulis di buku itu, karena yang mereka tahu Indonesia pada waktu itu adalah bagian dari Kerajaan Hindia Belanda sehingga tidak ada penjajahan apalagi pembantaian.
 
Hingga pada akhirnya Tragedi Rawagede ini kembali mencuat, seiiring dengan dimenangkannya gugatan para korban dan ahli warisnya terhadap Pemerintah Kerajaan Belanda di Pengadilan Belanda, tentang kejahatan perang yang dilakukan oleh Tentara Kerajaan Belanda.
 
Tragedi yang merupakan bagian kelam dari sejarah bangsa Indonesia ini, seharusnya layak untuk menjadi bagian dari pendidikan sejarah bagi bangsa Indonesia agar tidak melupakan peran besar para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya sejarah perjuangan mayarakat Rawagede.
 
Disisi lain, dengan keberadaan monumen peringatan dan are pemakaman korban pembantaian tragedi Rawagede bisa dijadikan destinasi wisata sejarah bangsa yang harus menjadi perhatian serius Pemerintah, agar Tragedi ini tidak terlepukan dimasa-masa datang.
 
Janganlah sekali –kali melupakan sejarah, ucap Bung Karno. (wilaf)

0 komentar:

Posting Komentar

Sample Text

Follow Us on Facebook



JOIN WITH US

Popular Posts