Kerawang, WisatanewsCom – ‘Kami yang kini terbaring
antara Karawang-Bekasi; Tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata
lagi; Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami; Terbayang kami
maju dan berdegap hati?; Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi;
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak; Kami mati muda. Yang
tinggal tulang diliputi debu; Kenang, kenanglah kami’.
Itulah penggalan dari puisi Antara Kerawang-Bekasi, karya Khairil Anwar
yang menceritakan rakyat Kerawang dan Bekasi yang berjuang membela tanah
air dengan menghadang gerak laju tentara belanda hingga ajal menjemput
mereka yang termasuk didalamnya tragedi Rawagede waktu itu.
Khusus mengenai tragedi Rawagede, tidak semua masyarakat Indonesia
mengetahui tragedi kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan oleh
Tentara Belanda pada masa pendudukan mereka di Indonesia. Karena sejarah
tragedi ini tidak pernah menjadi sejarah nasional, baik dalam dunia
pendidikan maupun dokumenter perjalanan sejarah bangsa.
Sejarah Tragedi Rawagede yang memilukan ini berlangsung pada tahun 1947,
dimana Tentara Kerajaan Belanda melakukan pembantaian terhadap lebih
dari 431 laki-laki penduduk Rawagede.
Desa Rawagede sekarang memang sudah tidak ada lagi dan berganti dengan
nama Desa Balonsari. Meski Desa Rawagede sudah berganti nama menjadi
Desa Balonsari, namun memori tragedi menyisakan trauma memori tersendiri
bagi warga desanya, khususnya pada beberapa saksi mata yang terlibat
langsung atas tragedi tersebut.
Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat setempat, dan sesuai
dengan ingatan para pelaku sejarah yang masih hidup, tragedi Rawagede
ini berawal dari gigihnya masyarakat Rawagede dalam menyembunyikan
informasi keberadaan pejuang kemerdekaan pada waktu itu yang membuat
Tentara Belanda menjadi marah sehingga terjadilah tragedi pembantaian
tersebut.
Sebenarnya Tragedi ini sempat mencuat dikala dari buku berjudul 'Riwayat
Singkat Makam Pahlawan Rawagede' yang diterbitkan pada 1991. Buku ini
ditulis oleh Sukarman Anak dari salah satu korban pembantian yang
bernama Sukardi, seorang pejuang Indonesia yang lolos dari pembantaian
Rawagede
Sayangnya buku ini kurang mendapatkan apresiasi serius dikalangan
masyarakat maupun pemerintah Indonesia, dan hanya menarik perhatian para
veteran termasuk Pangdam Siliwangi saat itu, Mayjen TNI Tayo Tarmadi.
Mayjen TNI Tayo Tarmadi kemudian memprakarsai pendirian Yayasan Rawagede
dan mengumpulkan kuburan para korban dalam satu lokasi berikut
membangun monumen.
Ironinya, Di Belanda buku itu menyedot perhatian akademisi, politisi dan
wartawan hingga kemudian dicetak ulang. Masyarakat Belanda begitu
terhenyak membaca kisah pembantaian yang ditulis di buku itu, karena
yang mereka tahu Indonesia pada waktu itu adalah bagian dari Kerajaan
Hindia Belanda sehingga tidak ada penjajahan apalagi pembantaian.
Hingga pada akhirnya Tragedi Rawagede ini kembali mencuat, seiiring
dengan dimenangkannya gugatan para korban dan ahli warisnya terhadap
Pemerintah Kerajaan Belanda di Pengadilan Belanda, tentang kejahatan
perang yang dilakukan oleh Tentara Kerajaan Belanda.
Tragedi yang merupakan bagian kelam dari sejarah bangsa Indonesia ini,
seharusnya layak untuk menjadi bagian dari pendidikan sejarah bagi
bangsa Indonesia agar tidak melupakan peran besar para pejuang dalam
mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya
sejarah perjuangan mayarakat Rawagede.
Disisi lain, dengan keberadaan monumen peringatan dan are pemakaman
korban pembantaian tragedi Rawagede bisa dijadikan destinasi wisata
sejarah bangsa yang harus menjadi perhatian serius Pemerintah, agar
Tragedi ini tidak terlepukan dimasa-masa datang.
Janganlah sekali –kali melupakan sejarah, ucap Bung Karno. (wilaf)
0 komentar:
Posting Komentar