Rabu, 31 Oktober 2012

Febriansyah Soebagio, salah seorang konsultan perencanaan pembangunan mendapat beasiswa dari salah satu kementerian di Indonesia untuk melanjutkan kuliah di Bendigo, Australia selama dua tahun. Selama di sana ia sempat mengamati perkembangan Islam. Berikut catatannya
Bendigo adalah salah satu kota kecil di sebelah utara Melbourne, bagian dari negara Victoria, Australia. Kota ini terkenal sebagai penghasil emas pada era 1800-1900. Dari Melbourne berjarak sekitar 130 km. Jika ditempuh dengan menggunakan kereta api atau kendaraan pribadi memakan waktu sekitar dua jam.
Jumlah penduduk kota ini sekitar 100 ribu jiwa. Mayoritas kulit putih keturunan dari Eropa. Selain itu, ada komunitas Asia seperti Cina, Arab, dan Melayu (Singapura, Malaysia, dan Indonesia). Ada juga dari Afrika dan Amerika Selatan, serta minoritas Aborigin.
Saya tinggal di Bendigo selama dua tahun. Bukan hal yang mudah bagi seorang Muslim menetap di kota ini. Satu-satunya tempat ibadah hanya berupa mushalla yang terletak di dalam kampus La Trobe University. Jika mau menggunakannya harus mendapat izin khusus dari pihak keamanan kampus. Jamaahnya shalat Jumat tidak lebih dari 50 orang. Bahkan, beberapa kali hanya empat orang.
Selain itu, masalah lainnya adalah makanan. Hampir semua rumah makan menyajikan makanan tidak halal. Untungnya, tidak jauh dari kota ini ada peternakan ayam yang mempekerjakan karyawan Muslim dari Somalia dan Ethiopia yang bertugas sebagai penyembelih. Ayam-ayam tersebut sebagian diekspor ke beberapa negara Muslim seperti Malaysia dan negara di Jazirah Arab. Produknya diakreditasi kehalalannya oleh Australian Federation of Islamic Councils setiap tahunnya.
Populasi Muslim di Bendigo sangat sedikit, kurang dari 100 orang. Mayoritasnya adalah pekerja di berbagai sektor seperti perbankan, teknik, dosen, dokter, akuntan, dan IT. Sedikit dari mereka adalah pelajar yang tengah melanjutkan kuliah, serta para pengungsi kemanusiaa dari Timur Tengah.
Peningkatan jumlah penduduk di Australia, khususnya Bendigo, tergantung oleh pendatang, yang pada akhirnya menentukan pertumbuhan angka penduduk Muslim. Tercatat bahwa jumlah Muslim di Australia meningkat setiap tahunnya selama kurun waktu tiga dekade terakhir. Pada 2001 jumlah pemeluk Islam mencapai 281,578 jiwa dan saat ini angka tersebut diperkirakan membengkak menjadi 500,000. Hal ini menyebabkan Islam disebut-sebut sebagai agama dengan perkembangan paling pesat di Australia.
Meski demikian, pola hidup Barat tentu mengancam nilai-nilai keislaman warga Muslim, terutama yang berusia muda dan berstatus pelajar. Tak jarang mereka terjebak pada kehidupan malam seperti diskotik dan minuman keras. Hal ini dipengaruhi oleh pergaulan dan masih sedikitnya aktivitas keislaman di Bendigo.
Dari sekitar 100 orang pemeluk Islam, beberapa di antaranya adalah mualaf Australia kulit putih. Salah satunya Abdu Razaq, yang dahulu bernama Rodney Blackhirst. Pria yang berprofesi sebagai dosen ini mulai tertarik Islam saat ia bekerja sebagai penjaga toko buku di Melbourne.
Di situlah ia banyak membaca buku-buku bernafaskan Islam. Ketertarikannya berlanjut saat ia memutuskan berkeliling ke negeri Muslim di India dan Pakistan, dan mengucapkan dua kalimat syahadat di sana. Saat ini, selain aktif mengajar, ia berperan penting sebagai penggerak komunitas Muslim Bendigo yang salah satunya berupaya mendapatkan dukungan dewan kota dalam mendirikan masjid.
Islam Bendigo di Abad 18
Bila ditelusuri sejarahnya, jauh sebelum komunitas Muslim yang sekarang ada, Bendigo pernah ditinggali oleh kelompok kecil Muslim yang berprofesi sebagai hawker. Hawker adalah penjaja barang menggunakan unta yang mengambil rute perjalanan dari selatan hingga ke bagian utara Australia.
Hal ini terjadi saat booming emas di tahun 1800 akhir dan bangsa Inggris yang berkuasa saat itu mendatangkan hawker beragama Muslim dari Afghanistan dan India. Hawker dibutuhkan untuk membuka akses perdagangan di medan outback Australia yang berat dan beriklim ekstrem. Dikatakan ekstrem kerena saat musim panas bersuhu 40 derajat celcius dan musim dingin minus 10 derajat celcius.
Sebuah penelitian sejarah menemukan jejak Islam pada sebuah situs kuburan Muslim di komplek pemakaman kuno di White Hills, Bendigo. Salah satunya adalah kuburan yang bertanda nama “Glaum Muhammad Bux” yang dikenal juga sebagai Mattab Shaah. Mattab tercatat sebagai hawker dari India.
Saat musim emas sedang lesu dan mulai diterapkannya kebijakan white Australia, pemukiman Muslim di Bendigo mulai menghilang. Mereka dipulangkan ke negeri asal secara paksa dan selama kurun waktu yang panjang.
Gereja Jadi Masjid
Ada yang menarik. Tidak jauh dari kota Bendigo, tepatnya di daerah Bostock Avenue, Manifold Heights, ada bangunan gereja yang kini berubah menjadi masjid.
Saat itu saya hendak bermain ke pantai di Bendigo. Karena sudah tiba waktu ashar saya mencari masjid. Ketika ditunjuki warga, saya merasa tidak yakin kalau itu sebuah masjid. Pasalnya, secara bangunan fisik nampak bangunan gereja. Hanya saja tanda salib di puncak diganti dengan bulan sabit. Interior desainnya masih seperti gereja. Dihiasi dengan jendela kaca warna-warni dan ciri khas dinding gereja tahun 1940-an.
Rumah untuk pastur atau pendeta yang terletak di samping gereja pun telah disulap menjadi madrasah dan ruang serbaguna. Menurut pengurus masjid, gereja ini telah beralih fungsi sejak tahun 1998. Awalnya seorang pengusaha Muslim asal Malaysia yang membeli bangunan dan tanah itu. Kemudian, beberapa pengusaha dari Turki membantu mengurus sertifikasi dan perizinan hingga akhirnya menjadi masjid seperti saat ini.
Awalnya, gereja ini adalah Methodist Church yang dibangun pada tahun 1939. Bangunan kepasturan dan sekolah minggu itu dibangun pada tahun 1940. Gereja ini direkonstruksi dari bluestone dan dilengkapi fondasi kayu pada plafon. Memiliki desain persegi panjang dan pintu masuk begaya gothic arches.
Beberapa alasan mengapa akhirnya bangunan ini terabaikan adalah, penutupan gereja lantaran dibentuknya Uniting Church, semacam unifikasi beberapa aliran Kristen seperti Presbyterian, Methodist, dan Congregational. Penyebab lainnya, karena tidak adanya jemaat yang datang ke gereja itu hingga akhirnya gereja itu tidak lagi dibutuhkan.
Kini, dengan era keterbukaan melalui imigrasi dan kedatangan pelajar asing dari negeri Muslim, bukan tidak mungkin perkembangan komunitas Muslim akan menjadi lebih besar dari sebelumnya dan bahkan menciptakan peradabannya sendiri. Semoga.* Suara Hidayatullah SEPTEMBER 2012

0 komentar:

Posting Komentar

Sample Text

Follow Us on Facebook



JOIN WITH US

Popular Posts